SELEMBAR KAIN YANG KU TAKSIR DI WINDUJENAR
Hari ini,tepatnya hari kamis 16-02-2012,seperti hari biasanya saya pergi ke kampus tercinta Universitas Sebelas Maret Surakarta.Udara hari itu terasa sayup mayup,angin sepoi-sepoi membelai dedaunan hijau di areal kampus,terbesit rasa dalam jiwa ku ingin pergi ke suatu tempat yang berbeda dari tempat yang lain.Ku putuskan menyambangi sebuah tempat dimana banyak barang antik dan kuno yang banyak di berjual belikan TRIWINDU atau sekarang bernama WINDUJENAR begitulah nama sebuah pasar yang terletak di pusat kota Surakarta Hadhiningrat,tepatnya di sebelah timur jalan Ngarsopuru tepat sejalur dengan Puro Mangkunegaran.
Tepat pukul 1.30 saya sampai di pasar barang antik ini di temani oleh sahabat saya yang setiap hari menghibur hari-hari saya dengan guyonannya yang lucu dan nyeleneh.kami berdua menyusuri lorong-lorong pasar dengan barang-barang antik yang bertaburan di kanan kirinya, membuat kami merasa berada di surga barang antik. Aneka koleksi kain batik, uang dan koin kuno, cap batik, gramofon tua dari Eropa, wayang-wayang yang terlukis di papan kayu tua, sepeda dari tahun 1930an, hingga berbagai benda yang diklaim sebagai fosil makhluk purba dari Sangiran bisa ditemukan disini. Tidak ketinggalan pula lukisan-lukisan tua, lampu minyak, patung-patung Budha, hingga setrika arang. Tidak hanya itu saja, pasar ini juga akan memberikan kepuasan tersendiri bagi para kolektor dan penggila otomotif karena bisa mendapatkan onderdil langka yang sudah tidak diproduksi lagi.
Tidak semua barang yang dijual di Pasar Triwindu merupakan barang yang benar-benar antik. Sebuah barang yang diklaim penjualnya berusia ratusan tahun mungkin saja baru dibuat beberapa minggu lalu. Namun jika beruntung, Anda bisa mendapatkan pusaka yang dulunya adalah milik kraton. Berbagai spekulasi berkembang mengenai keberadaan benda-benda milik kraton di pasar ini. Namun pihak kraton mengatakan bahwa benda-benda itu kemungkinan adalah benda yang dihadiahkan pada abdi dalem dan kemudian dijual, atau didapatkan oleh orang yang membeli dari kerabat kraton. Berbelanja di Pasar Triwindu sungguh membutuhkah ketelitian dan keahlian tawar-menawar, jadi jangan ragu untuk menawar setengah harga.
Ada salah satu kios yang menarik perhatian saya,tumpukan kain kuno disusun rapi di tengah kios itu,tangan ini tak kuasa menahan untuk memilih dan memolah tumpukan kain itu dan tak ku sangka ada sebuah kain hijau ber motif alas-alasan yang mencuri perhatian saya sehingan tertatik untuk menggelarnya,hapir 4 meter ternyata panjang kain itu.Motif indah bergoreskan tinta emas mengsiasi kain itu,aku ingat sekali motif kain itu adalah motif sakral(larangan) dari kraton Surakarta yang di beri nama motif hias Alas-alasan Pinarada Mas biasa hanya di gunakan oleh para penari bedoyo ketawang yang menari satu tahun sekali di bangsal sasono seweko kraton Surakarta dalam acara jumenengan Raja.
(windujenar,16-02-12 by aris s)
Sepengal kisah kenapa kain motif ini di sakralkan.Menjelang akhir abad XVIII, tepatnya pada 5 Jumadil Awal 1716 Saka (1790), Pakubuwana IV (1788-1820) menetapkan motif hias Alas-alasan Pinarada Mas sebagai motif larangan. Sebuah motif yang dianggap sakral, setara kesakralannya dengan pusaka lain.
Sakralitas motif hias alas-alasan berakar pada konsepsi supranatural dan mistis tentang alas dan gunung. Alas dan gunung merupakan situs sentral dan fundamental, yang melalui kepercayaan dan pandangan hidup orang Jawa dimapankan. Bersama dengan Laut Selatan, alas (Krendhawahana) dan gunung (Merapi dan Lawu) menjadi pilar kosmik Keraton Surakarta.
“Pandangan supranatural terhadap alas dan gunung inilah yang menjadi energi penggerak dan pengukuh eksistensi kreasi simbolik dan estetik batik Keraton Surakarta,motif ini terhindar dari perubahan sepanjang masa sebab terlindung dalam pagar otoritas raja. Motif Alas-alasan hanya dapat dipakai oleh raja, pengantin, dan penari Bedhaya Ketawang di lingkungan Keraton Surakarta. Sebuah monopoli yang terlarang bagi rakyat biasa, kecuali raja dan keluarganya. Peruntukkan khusus tersebut menjadikannya sebagai salah satu benda pusaka di antara benda upacara atau regalia lainnya, sebuah motif yang secara historis dan kultural selalu digunakan sebagai busana tari Bedhaya Ketawang dalam ritual penobatan raja (jumenengan) dan ulang tahun penobatan raja di lingkungan Keraton Surakarta. “Itulah sebabnya tari tersebut dikategorikan sebagai tari upacara. Tari yang diyakini diciptakan oleh mahluk halus. Kanjeng Ratu Kidul selalu hadir serta terlibat dalam melatih seraya menarikannya. Tidak hanya menjadi dasar kesakralan tari Bedhaya Ketawang, namun juga motif hias yang melekat pada busana tari tersebut.
tari Bedhaya Ketawang mengandung nilai-nilai religi, sehingga ia diklasifikasikan sebagai tari Religi. Tari yang diyakini sebagai ekspresi cinta mendalam penguasa Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul atau Kanjeng Ratu Kencana Sari, kepada Sultan Agung sehingga termasuk dalam tari percintaan.
motif hias Alas-alasan juga merupakan reprsentasi perlindungan. Dalam konteks perkawinan, motif ini merepresentasikan dari “raja”, gumelaring jagad, harapan, perlindungan dan kesuburan. Tidak hanya itu, motif ini merupakan ekspresi estetis dan simbolik. Keduanya dilandasi oleh konsepsi penting alas dan atau gunung, yakni sebuah keyakinan mistis, kesadaran historis dalam upaya meraih harmoni antara manusia, lingkungan, dan Tuhan.
(Motif Hias Alas-alasan Pada Batik dalam Ritual Tingalan Jumenengan dan Perkawinan di Keraton Surakarta: Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna)
Drs. Guntur, M. Hum,
Sampai sekarang, Pasar Windujenar masih melayani sistem barter. Anda bisa menukar koleksi dengan barang antik yang lain, tentu saja dengan negosiasi dan kesepakatan tentang nilai barang yang ingin dibarter. Jika Anda wisatawan yang ingin membeli oleh-oleh, ataupun sekedar ingin menikmati suasana kota Solo yang sesungguhnya, Pasar Windujenar layak menjadi pilihan.
(aris s,16-02-2012)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar