Rabu, 22 Februari 2012

BEDHOYO DIRODO METO


                                       BEDHOYO MATARAM SENOPATEN DIRODO METO
Njeng Pangeran Dipati Mangkunagara Nindhihi ing ajurit Mangamuk anyakra gandewanya lir kilat...

Tarian itu menampilkan tujuh prajurit pria membawa trisula dan busur. Berblangkon, mereka mengenakan selempang di dada, kalung, pelat bahu. Mereka berbelit kain Dodot Alas-alasan hitam-lambang tolak bala-bermotif penyu, burung, pepohonan yang disepuh warna prada emas.

Pola koreografi tujuh tamtama itu berubah terus. Tiga prajurit pembawa trisula mula-mula berada di tengah, sementara di samping kanan kiri para prajurit yang membawa gandewa. Lalu semuanya bergerak melingkar, hingga akhirnya terbentuklah dua garis sejajar. Tombak itu diarahkan ke depan. Panah seolah siap ditarik....

Lebih dari seratus atau dua ratus tahun lalu, tarian itu pernah ada di lingkungan Pura Mangkunegaran, tapi tak seorang pun tahu seperti apa bentuk tarian malam itu. Mungkin mirip, mungkin bisa berbeda sama sekali. Mungkin lebih mistis, atau bisa jadi tarian ditampilkan lebih gagah seperti bunyi tembang di atas yang melukiskan bagaimana sang pangeran mengamuk ke semua arah, gandewa berkelebat bagai kilat. Mungkin para prajurit tak hanya membawa busur dan tombak, tapi juga gada, tameng....

Semua hanya spekulasi. Satu-satunya "saksi mata" yang pernah melihat tarian itu seabad-dua abad lalu adalah Kiai Kanyut Mesem, ensembel gamelan tua yang sehari-hari berada di pendapa Mangkunegaran. Gamelan tersebut diyakini dibuat pada 1750-an dan telah mengiringi segala tarian sakral di Mangkunegaran. Kini malam itu sang gamelan (bersama Kiai Udan Arum) "kembali" mengiringi.

Hujan mengguyur Solo sebelum pertunjukan. Udara dingin menusuk pendapa Mangkunegaran. Selama 30 menit, Dirodo Meto disajikan di hadapan undangan, termasuk para donatur seperti Martin Gray King dari Sampoerna dan Iwan Tirta, yang mendesain kostum. Terlihat kebanyakan penonton ber-usaha mereka-reka yang disajikan tarian itu.
 

Inilah salah acara utama memperingati 250 tahun Pura Mangkunegaran. Membangkitkan tari yang sudah punah ciptaan pendiri Mangkunegaran: RM Said atau Mangkunegara I (1725�1795). Disebut punah karena sudah seratus tahun tidak pernah ditarikan dan sedikit sekali acuan yang tersedia.
RM Said adalah seorang pangeran yang mendapat julukan Lelana Handon Yuda, seorang lelaki yang berkelana terus-menerus melakukan pertempuran. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa ia paling sukar tunduk kepada kumpeni.

Ia tak mau kompromi, hidupnya berpindah dari hutan ke hutan, bergerilya menggunakan taktik menghindar-menyerang. Ia bentrok dengan penguasa Keraton Yogya, Hamengku Buwono I (P. Mangkubumi) yang merupakan mertuanya sendiri dan Paku Buwono II , Raja Keraton Solo. Keduanya dianggapnya kooperatif dengan Belanda.

Untuk mengenang pertempuran-pertempurannya, dibantu dua empu: Kiai Kidang Wulung yang merupakan ahli tari dan Demang Seca Karma, ahli karawitan, ia mencipta tiga tarian. Pertama, Bedhaya Anglir Mendung, yang merupakan kenangannya atas pertempuran di Ponorogo 1752 yang menewaskan 600 prajurit Mangkubumi. Bedhaya Anglir Mendung ini sering disebut Bedhaya Ketawang Alit, sementara Bedhaya Ketawang yang ada di Keraton Solo adalah Bedhaya Ketawang Ageng.
Seluruh penari, pesinden, dan penabuh Anglir Mendhung adalah perempuan. Jumlahnya masing-masing tujuh orang. Mungkin ini dibuat untuk menghormati laskar perempuannya. RM Said terkenal memiliki legiun prajurit estri yang dinamakan Pasukan Ladrang Mangungkung dan Jayeng Rasta.
Kedua, Bedhaya Dirodo Meto (Gajah Mengamuk). Ini untuk mengenang perang di Rembang pada 1756. Pada usia 30 tahun di hutan Sitakepyak, Rembang, RM Said dikejar oleh gabungan dari dua detasemen kumpeni, pasukan Kasultanan Solo, juga Keraton Yog-ya yang menyewa serdadu-serdadu Bali dan Bugis.
Dari segi jumlah, pertempuran itu bagai David lawan Goliath. Namun, RM Said mampu membangkitkan moral pasukan setelah ia dapat membunuh Kapten Van der Pol, memenggal kepalanya, dan dengan dijinjing tangan kiri, menyerahkannya ke selirnya, Ajeng Wiryah. Tercatat 85 orang serdadu Belanda tewas, sementara di pihaknya hanya 15 orang.

Tarian ketiga adalah Bedhaya Sukapratama, sebuah tarian untuk mengenang saat ia menyerang benteng Belanda di Yogya dan istana Yogya pada 1757.
Dari tiga tari itu, yang berhasil diselamatkan adalah Bedhaya Anglir Mendung. Setiap tahun bedaya ini dipentaskan saat jumenengan memperingati kenaikan takhta Mangkunega-ra IX. Tahun lalu, saat peringatan jumenengan ke-18, Anglir Mendung juga dipentaskan. Sedangkan Bedhaya Dirodo Meto dan Bedhaya Sukapratama belum pernah ditampilkan sama sekali.

Maka, untuk peringatan 250 tahun ini Mangkunegaran memilih merekonstruksi Bedhaya Dirodo Meto. Tari ini agaknya merupakan harga diri, identitas penting bagi Mangkunegaran. Pada peperangan di Rembang itulah RM Said menunjukkan "nasionalismenya" dibanding kedua keraton lain. Di sinilah, RM Said mendapat julukan yang menggetarkan: Pangeran Samber Nyawa.

Untuk tugas rekonstruksi itu, Mangkunegaran menunjuk dua penari senior Institut Seni Indonesia Solo, Wahyu Santoso Prabowo dan Daryono. "Agak susah rekonstruksinya," kata Wahyu. Ia mengakui adanya keterbatasan data tentang gerak dan lagu Dirodo Meto. Selama setahun waktu digunakan untuk meriset, termasuk membaca Babad Lelamphan yang berisi kisah-kisah sebelum RM Said menjadi raja, dan Babad Tutur sesudah ia diangkat jadi raja.
Hasilnya, tak banyak yang ditemukan. Hanya ada teks tembang Dirodo Meto di Babad Tutur. "Kami ingin mendapat sebanyak mungkin informasi data, tapi ternyata sulit," kata Daryono. Dari yang sedikit itulah mereka bergerak. Wahyu mengakui proses rekonstruksi ini akhirnya adalah sebuah tafsir. "Ini eksperimen" katanya.

Rekonstruksi Dirodo Meto ini, menurut Wahyu, berbeda sekali dengan rekonstruksi-rekonstruksi bedaya lain yang pernah dilakukan. Tentang Bedhaya Anglir Mendung, sebetulnya juga tak ada catatan tertulis yang lengkap tentang tarian itu, tapi di Keraton Solo ada tarian Serimpi Anglir Mendung yang bisa digunakan sebagai rujukan. Demikian juga dengan Bedhaya La-la karya Pakubuwono V.
Karya ini mulanya hampir punah, dan di Keraton Solo pada 1972 dilakukan sebuah rekonstruksi Bedhaya La-la berkisah tentang Dewa Ruci. Kisah pencapaian Bima mendapatkan air suci Prawita Sari. Yang membuat mudah menciptakan ulang Bedhaya La-la, menurut Wahyu, adalah karena notasi Gendhing Lala beserta melodinya masih ada. "Gending itu penting. Biasanya nama tari bedaya mengikuti nama gendingnya," katanya. Juga yang paling membantu saat itu adalah masih hidupnya maestro Marto Pangrawit (1914�1986) yang sangat mengerti gending-gending lama. "Beliau masih ingat betul gending-gending pokoknya," kata Wahyu.

Patokan pertama menghidupkan Dirodo Meto adalah tarian itu dibawakan oleh tujuh penari laki-laki. Dalam catatan, bila Anglir Mendhung dibawakan oleh perempuan, maka para penari, pesinden, dan penabuh Dirodo Meto adalah pria semuanya. "Bedhaya Anglir Mendhung karenanya menjadi pembanding utama," kata Wahyu.

Semua unsur gerak Dirodo Meto diramu dari vokabuler-vokabuler gerak yang diambil dari khazanah tari Mangkunegaran. Karena itu, pihak Mangkunegaran merasa perlu memanggil maestro tarinya yang tersisa yang sudah pensiun tapi dianggap mengetahui khazanah tari Mengkunegaran: R. Suwardi, 85 tahun. R. Suwardi diperlukan untuk terus menjaga proses latihan (lihat Sang Penjaga Proses).
Malam itu Dirodo Meto versi rekonstruksi ini dimulai dengan adegan maju beksan. Dari dalam, muncul tujuh penari diiringi tujuh pengawal keluar mengambil posisi awal. Para penari bersila, selanjutnya menampilkan Beksan Laras, melakukan pola-pola sesembahan dan kemudian humadeg berdiri, lalu bergerak pelan.

Gending Kemanak mengiringi. Suasananya meditatif.
Selain Bedhaya Anglir Mendung, yang juga digunakan untuk pembanding adalah Bedhaya Bedhah Madiun karya Mangkunegara VII. "Bedhaya Bedhah Madiun temanya tentang gerilya," kata Daryono. Ada beberapa vokabuler dari bedaya ini yang dianggap Daryono unik dan digunakannya, terutama gerak melengkungkan telapak tangan, yang disebut gidrah, yang merupakan gerak tangan tari putri. Gerak yang mulanya berkarakter agak kenes oleh Daryono diubah menjadi keras.

Dan, akhirnya, karena tema utama Dirodo Meto adalah tentang pertempuran, maka banyak vokabuler kemudian diambil dari khazanah tari wireng. Wireng adalah tari keprajuritan. Mangkunegaran memiliki banyak catatan tertulis mengenai berbagai tari wireng. "Mangkunegaran ini gudangnya wireng," kata R. Suwardi. Menurut dia, perpustakaan Rekso Pustoko, perpustakaan milik Mangkunegaran, memiliki banyak koleksi buku-buku tentang wireng. Mungkin lantaran pendiri Mangkunegaran adalah seorang senopati tak terkalahkan, maka genre tari yang banyak dikembangkan di Mangkunegaran adalah wireng.

Daryono sendiri sebagai penata tari melakukan riset intensif atas berbagai jenis wireng ini. Menurut dia, pemilihannya tidak boleh asal comot. "Saya akhirnya mengambil motif gerak wireng Sancaya Kusuma Wicitra dan Wirun Narantaka." Pertimbangannya: kedua wireng itu menonjolkan unsur kesedihan. Daryono melihat Dirodo Meto sebagai sebuah tari yang menampilkan kesedihan Mangkunegara I mengenang 15 prajuritnya yang gugur. Ia menganggap ekspresi perang dalam Dirodo Meto bukan ekspresi lahiriah semata. "Kedua wireng itu cocok karena menampilkan perasaan kehilangan," katanya.
Ia juga mengambil gerak dari khazanah pertempuran putri. "Srimpi Muncar yang diciptakan Mangkunegara VII." Ini sebuah tari yang menceritakan seorang putri Jawa bernama Kelaswara yang terbakar cemburu ketika suaminya, Wong Agung Menak, jatuh hati pada seorang putri Cina bernama Ada-ninggar. Kemudian terjadilah pertempuran antara kedua putri cantik itu. Kelaswara melawan Adaninggar. "Saya ambil gregetnya."

Penggambaran adegan perang ini diiringi gending Ladrang Dirodo Meto. Gending ini biasanya dipakai dalam adegan-adegan tertentu pertunjukan wayang. Bila biasanya tidak memakai vokal, oleh Wahyu gending ini diisi gerongan, yakni koor pria dengan syair-syair yang ditemukan di Babad Tutur itu.

Drakk! Tiga trisula dipadukan. Semua penari kemudian duduk bersimpuh. Seorang diri seorang penari (Daryono) membawa tombak mengitari para penari yang bersimpuh.... Ia tampak tengah mempersiapkan mental prajurit.

Tak syak, keingintahuan penonton melihat pertunjukan ini disebabkan oleh nama tarian yang berarti gajah mengamuk. Seakan menyiratkan bahwa pertunjukan akan dipenuhi koreografi yang gemuruh. Tapi bagi yang mengharapkan tontonan yang energetik, dinamik, atraktif, pertunjukan ini memang di luar ekspektasi. Keheroan pasukan Mangkunegara lebih diungkapkan pada lirik, sementara eksekusi tarinya tenang.
Tapi itulah bedaya. Dalam sebuah laporan Belanda, laskar perempuan RM Said dilukiskan begitu cekatan. Mereka terampil berkuda, juga dalam menggunakan senapan panjang dan pendek. Mereka mampu berganti senjata dengan cepat dan menembak salvo secara serempak. Tapi dalam Bedhaya Anglir Men-dhung semua begitu mengalir, anggun, tanpa gejolak.

"Saya kira tontonan ini puitis sekali, kena sekali," kata penari muda, Fajar Satriadi, mengomentari Dirodo Meto versi Daryono dan Wahyu ini. Penari Elly Luthan melihat itu sebagai sebuah tontonan tari klasik yang berhasil. "Tapi sebagai sebuah rekonstruksi, dia menyandang beban terlalu berat," katanya.
Apa pun, pergelaran ini patut dicatat sebagai sebuah usaha konservasi yang langka. Mungkin yang ingin melihat tontonan kolosal bisa menunggu sampai November nanti. Sebagai penutup rangkaian acara 250 tahun Mangkunegaran, untuk menggambarkan kegagahan pasukan Pangeran Samber Nyawa, direncanakan tari yang melibatkan 300-an penari.

"Tunggu 11 November, tari ini sampai melibatkan pasukan berkuda dan gajah, "janji Agus Haryo Sudarmojo, ketua penyelenggara.
Seno Joko Suyono (Solo)

Selasa, 21 Februari 2012

KRATON SURAKARTA

KRATON SURAKARTA HADININGRAT

Keraton Surakarta (Solo) atau disebut sebagai Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan keraton dengan gaya dan arsitektur yang sangat unik. Keraton ini tertelak di kota Surakarta biasa disebut dengan nama Solo yang berada di Propinsi Jawa Tengah. Keraton Solo merupakan perpaduan yang khas antara gaya eropa dan etnik Jawa dalam setiap sudut dan tata ruang Keraton. Secara sejarah Keraton Solo di bangun oleh Pakubuwono II sekitar tahun 1744. Berbicara tentang Keraton, tak lepas dari sejarah kerajaan-kerajaan islam yang penah berjaya di tanah jawa. Ketika Kerajaan Islam Pajang mulai memperlihatkan titik surut, maka mulailah berdiri kerajaan mataram yang didirikan oleh Sultan Ageng Hanyokrokusumo. Dalam beberapa dekade, kerajaan ini sangat kuat dan jaya, namun akhir kerajaan Mataram Islam tidaklah semanis masa jayanya. Kerajaan Mataram Islam harus terpecah menjadi dua bagian barat dan timur pada tahun 1755 dengan sebuah perjanjian yang disebut perjanjian Giyanti. Dalam kesepakatan tersebut membagi Mataram Islam menjadi Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang berada di sebelah barat kali Opak Prambanan dan Keraton Surakarta Hadiningrat yang berada di sebelah timurnya. Untuk sisi sebelah barat telah dikupas ditulisan sebelumnya dan sekarang lebih mengenal tentang Keraton Solo yang merupakan perpaduan antara kemegahan Eropa dan Keunikan etnik Jawa yang mempesona.


Keraton Surakarta atau Solo terletak di selatan Jawa Tengah, Berada di koordinat 7° 34′ 0″ LS, 110° 49′ 0″ BT. Surakarta sendiri berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan.

Sampeyan Dalam ingkang Sinuhun ingkang Minula saha ingkang Wijaksana Kanjeng Susuhanan Prabhu Sri Paku Buwana XIII Senapati ing alaga Ngah 'Abdu'l-Rahman Saiyid ud-din Panatagama


Senin, 20 Februari 2012

Bledug Kuwu di Kabupaten Grobogan

Bledug Kuwu adalah sebuah fenomena kawah lumpur
 (mud volcanoes) 


Bledug Kuwu adalah sebuah fenomena kawah lumpur (mud volcanoes) yang sudah terjadi jauh sebelum jaman Kerajaan Mataram Kuno (732 M-928M).Bledug Kuwu salah satu obyek wisata andalan di Kabupaten Grobogan,selain sumber api abadi Merapen,dan Waduk Kedungombo.Secara etimologi, nama bleduk kuwu berasal dari bahasa jawa,yaitu ’bledug’ yang berarti ledakan/meledak dan ‘kuwu’ diserap dari kata ‘kuwur’ yang berarti lari/kabur/berhamburan.
Menurut cerita turun menurun yang beredar di masyarakat, Bledug Kuwu terjadi karena adanya lubang yang menghubungkan tempat itu dengan Laut Selatan.Konon lubang itu adalah jalan pulang Joko Linglung dari Laut Selatan menuju Kerajaan Medang Kamulan setelah mengalahkan Prabu Dewata Cengkar yang telah berubah menjadi buaya putih di Laut Selatan. Joko Linglung konon bisa membuat lubang tersebut karena dia bisa menjelma menjadi ular naga yang merupakan syarat agar dia diakui sebagai anak Aji Saka,penguasa Kerajaan Medang Kamulan.

 mitosnya :
Ada sebuah cerita turun temurun dari tanah Grobogan, Jawa Tengah. Ada sebuah jalur lubang dari Laut Selatan hingga desa Kuwu kecamatan Kradenan. Lubang itu sebagai jalan pulang seorang Joko Linglung dari laut selatan (samudera Hindia) menuju kerajaan Medang Kamulan setelah mengalahkan Prabu Dewata Cengkar yang telah berubah menjadi buaya putih di Laut Selatan. Joko Linglung konon bisa membuat lubang tersebu karena dia bisa menjelma menjadi ular naga yang merupakan syarat agar dia diakui sebagai anak Aji Saka, penguasa kerajaan Medang kemulan. Dan lubang yang diciptakan tersebut kemudian dikenal sebagai Bledug Kuwu.
Bledug Kuwu sendiri merupakan sebuah fenomena kawah lumpur yang sudah terjadi jauh sebelum jaman Kerajaan Mataram Kuno (732-928 Masehi). Bledug Kuwu merupakan salah satu obyek wisata andalan di Kabupaten Grobogan. Secara etimologi, nama bledug kuwu berasal dari bahasa Jawa. Bledug, berarti meledak. Kuwu, artinya berlari, kabur atau berhamburan.
Secara periodik, akan timbul suara seperti bunyi meriam dari gelembung lumpur bersamaan dengan keluarnya asap, gas dan air garam. Letupan-letupan ini terjadi secara berskala antara 2-3 menit, di daerah dengan diameter kurang lebih 650 meter. Bahkan jarang, letupan lumpur itu bisa mencapai seukuran rumah penduduk.
Selain menikmati keindahan bledug kuwu, di tempat ini banyak terdapat beberapa penduduk yang mencari nafkah dari bledug kuwu dengan memanfaatkan sumber bledug kuwu menjadi garam dapur. Kemasyuran rasa garam bledug kuwu tercatat didalam sejarah keraton Surakarta. Hal ini dapat dibuktikan melalui berbagai keterangan dari masyarakat sekitarnya. Didaerah ini terdapat gunungan-gunungan kecil yang puncaknyanya mengeluarkan lumpur berwarna kekuning-kuningan.
Perjalanan menuju objek wisata ini dapat ditempuh melalui jalan darat. Dari terminal bus Semarang, pengunjung dapat menggunakan bus jurusan Semarang-Purwodadai. Setelah sampai di terminal bus Purwodadi, perjalanan dapat dilanjutkan dengan minibus jurusan Purwodadi-Kuwu.

Minggu, 19 Februari 2012

FESTIVAL JENANG SOLO

                                                         FESTIVAL JENANG SOLO


Hidup di kota nan tenang,damai,sejahtera serta indah dimana mata .Setiap kali memandang sudut kota kecil bertabur kebudayaan nan agung,setelah hampir dua tahu saya menutut ilmu dan menetap di kota surakarta jiwa dan hati ini tak mau pergi dari tempat yang sudah membuatku jatuh cinta ini,hingga rasa malas dan ogoh pulang ke kota semarang di mana saya berdomisili.Jumat 17-02-2012, Surakarta mengadakan sebuah festival rakyat yaitu festival jenang solo meriahkan ulang tahun kota kecil ber tabur budaya ini.


Selain jenang ada juga seniman-seniman kota solo yang ikut berpartisipasi, mereka bernyayi,menari ditengah kerumunan warga,menambah asyik dan meriahnya festival.

Alunan lagu gendhing jawa melantun sepanjang prosesi festival berlangsung.tak sadar waktu telah menunjukan pukul 11.00,jalanan juga mulai lengang begitulah ahkir dari prosesi ini.


BY: ARIS SUHARSONO Y. 

FESTIVAL JENANG SOLO (17/02/2012)

                                                  FESTIVAL JENANG SOLO (17/02/2012)
                          FOTO BY ARIS.S

JIWAKU TERTAMBAT DI KOTA SOLO

SELEMBAR KAIN YANG KU TAKSIR DI WINDUJENAR

Hari ini,tepatnya hari kamis 16-02-2012,seperti hari biasanya saya pergi ke kampus tercinta Universitas Sebelas Maret Surakarta.Udara hari itu terasa sayup mayup,angin sepoi-sepoi membelai dedaunan hijau di areal kampus,terbesit rasa dalam jiwa ku ingin pergi ke suatu tempat yang berbeda dari tempat yang lain.Ku putuskan menyambangi sebuah tempat dimana banyak barang antik dan kuno yang banyak di berjual belikan TRIWINDU atau sekarang bernama WINDUJENAR begitulah nama sebuah pasar yang terletak di pusat kota Surakarta Hadhiningrat,tepatnya di sebelah timur jalan Ngarsopuru tepat sejalur dengan Puro Mangkunegaran.

Tepat pukul 1.30 saya sampai di pasar barang antik ini di temani oleh sahabat saya yang setiap hari menghibur hari-hari saya dengan guyonannya yang lucu dan nyeleneh.kami berdua menyusuri lorong-lorong pasar dengan barang-barang antik yang bertaburan di kanan kirinya,  membuat kami merasa berada di surga barang antik. Aneka koleksi kain batik, uang dan koin kuno, cap batik, gramofon tua dari Eropa, wayang-wayang yang terlukis di papan kayu tua, sepeda dari tahun 1930an, hingga berbagai benda yang diklaim sebagai fosil makhluk purba dari Sangiran bisa ditemukan disini. Tidak ketinggalan pula lukisan-lukisan tua, lampu minyak, patung-patung Budha, hingga setrika arang. Tidak hanya itu saja, pasar ini juga akan memberikan kepuasan tersendiri bagi para kolektor dan penggila otomotif karena bisa mendapatkan onderdil langka yang sudah tidak diproduksi lagi.

Tidak semua barang yang dijual di Pasar Triwindu merupakan barang yang benar-benar antik. Sebuah barang yang diklaim penjualnya berusia ratusan tahun mungkin saja baru dibuat beberapa minggu lalu. Namun jika beruntung, Anda bisa mendapatkan pusaka yang dulunya adalah milik kraton. Berbagai spekulasi berkembang mengenai keberadaan benda-benda milik kraton di pasar ini. Namun pihak kraton mengatakan bahwa benda-benda itu kemungkinan adalah benda yang dihadiahkan pada abdi dalem dan kemudian dijual, atau didapatkan oleh orang yang membeli dari kerabat kraton. Berbelanja di Pasar Triwindu sungguh membutuhkah ketelitian dan keahlian tawar-menawar, jadi jangan ragu untuk menawar setengah harga.


Ada salah satu kios yang menarik perhatian saya,tumpukan kain kuno disusun rapi di tengah kios itu,tangan ini tak kuasa menahan untuk memilih dan memolah tumpukan kain itu dan tak ku sangka ada sebuah kain hijau ber motif alas-alasan yang mencuri perhatian saya sehingan tertatik untuk menggelarnya,hapir 4 meter ternyata panjang kain itu.Motif indah bergoreskan tinta emas mengsiasi kain itu,aku ingat sekali motif kain itu adalah motif sakral(larangan) dari kraton Surakarta yang di beri nama motif hias Alas-alasan Pinarada Mas biasa hanya di gunakan oleh para penari bedoyo ketawang yang  menari satu tahun sekali di bangsal sasono seweko kraton Surakarta dalam acara jumenengan Raja.
                                                         (windujenar,16-02-12 by aris s)

Sepengal kisah kenapa kain motif ini di sakralkan.Menjelang akhir abad XVIII, tepatnya pada 5 Jumadil Awal 1716 Saka (1790), Pakubuwana IV (1788-1820) menetapkan motif hias Alas-alasan Pinarada Mas sebagai motif larangan. Sebuah motif yang dianggap sakral, setara kesakralannya dengan pusaka lain.

Sakralitas motif hias alas-alasan berakar pada konsepsi supranatural dan mistis tentang alas dan gunung. Alas dan gunung merupakan situs sentral dan fundamental, yang melalui kepercayaan dan pandangan hidup orang Jawa dimapankan. Bersama dengan Laut Selatan, alas (Krendhawahana) dan gunung (Merapi dan Lawu) menjadi pilar kosmik Keraton Surakarta.

“Pandangan supranatural terhadap alas dan gunung inilah yang menjadi energi penggerak dan pengukuh eksistensi kreasi simbolik dan estetik batik Keraton Surakarta,motif ini terhindar dari perubahan sepanjang masa sebab terlindung dalam pagar otoritas raja. Motif Alas-alasan hanya dapat dipakai oleh raja, pengantin, dan penari Bedhaya Ketawang di lingkungan Keraton Surakarta. Sebuah monopoli yang terlarang bagi rakyat biasa, kecuali raja dan keluarganya. Peruntukkan khusus tersebut menjadikannya sebagai salah satu benda pusaka di antara benda upacara atau regalia lainnya, sebuah motif yang secara historis dan kultural selalu digunakan sebagai busana tari Bedhaya Ketawang dalam ritual penobatan raja (jumenengan) dan ulang tahun penobatan raja di lingkungan Keraton Surakarta. “Itulah sebabnya tari tersebut dikategorikan sebagai tari upacara. Tari yang diyakini diciptakan oleh mahluk halus. Kanjeng Ratu Kidul selalu hadir serta terlibat dalam melatih seraya menarikannya. Tidak hanya menjadi dasar kesakralan tari Bedhaya Ketawang, namun juga motif hias yang melekat pada busana tari tersebut.
tari Bedhaya Ketawang mengandung nilai-nilai religi, sehingga ia diklasifikasikan sebagai tari Religi. Tari yang diyakini sebagai ekspresi cinta mendalam penguasa Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul atau Kanjeng Ratu Kencana Sari, kepada Sultan Agung sehingga termasuk dalam tari percintaan.
motif hias Alas-alasan juga merupakan reprsentasi perlindungan. Dalam konteks perkawinan, motif ini merepresentasikan dari “raja”, gumelaring jagad, harapan, perlindungan dan kesuburan. Tidak hanya itu, motif ini merupakan ekspresi estetis dan simbolik. Keduanya dilandasi oleh konsepsi penting alas dan atau gunung, yakni sebuah keyakinan mistis, kesadaran historis dalam upaya meraih harmoni antara manusia, lingkungan, dan Tuhan.
(Motif Hias Alas-alasan Pada Batik dalam Ritual Tingalan Jumenengan dan Perkawinan di Keraton Surakarta: Kajian Bentuk, Fungsi dan Makna) 
Drs. Guntur, M. Hum,

Sampai sekarang, Pasar Windujenar masih melayani sistem barter. Anda bisa menukar koleksi dengan barang antik yang lain, tentu saja dengan negosiasi dan kesepakatan tentang nilai barang yang ingin dibarter. Jika Anda wisatawan yang ingin membeli oleh-oleh, ataupun sekedar ingin menikmati suasana kota Solo yang sesungguhnya, Pasar Windujenar layak menjadi pilihan.

(aris s,16-02-2012)